Yuna dan neneknya yang miskin tinggal di sebuah desa terpencil di kaki bukit. Nenek Punuk, begitulah panggilannya karena badannya yang kecil membungkuk dan terlihat dari jauh seperti berpunuk.
Yuna amat terampil dalam bekerja. Ia rajin membersihkan rumah dan membantu neneknya berjualan bunga-bunga segar di depan pasar. Setiap pagi sebelum berjualan, mereka memetik bunga-bunga liar aneka warna yang tumbuh subur di tepi hutan.
Suatu ketika Nenek Punuk jatuh sakit. Yuna begitu sedih dan bingung. Sudah bermacam obat tradisional diminum oleh Nenek Punuk, namun kesehatannya tak kunjung membaik. Semakin hari kondisi tubuhnya semakin melemah. Selama nenek sakit, Yuna tetap berjualan bunga. Malam itu ketika Yuna hendak beristirahat, ia mendengar suara lirih Nenek Punuk memanggilnya. Yuna pun bergegas menghampiri sambil membawakan segelas air putih.
“Yuna … Mungkin sudah saatnya bagi nenek untuk pergi jauh. Jangan sedih, cucuku. Nenek yakin, sepeninggal nenek nanti kamu pasti bisa melanjutkan hidupmu sendiri. Nenek akan selalu ada bersamamu …”
“Nenek …” Yuna memeluk erat Nenek Punuk dengan sedih.
Tak lama kemudian Nenek Punuk pun meninggal dunia dengan menggenggam sebuah kunci di tangan kirinya. Yuna mengambil kunci tersebut dan membuka lemari satu-satunya peninggalan nenek dengan kunci itu. Ketika pintu telah terbuka, Yuna hanya mendapati di dalam lemari sebuah payung berwarna kuning dan selembar surat yang di tulis oleh Nenek Punuk untuk dirinya. “Cucuku, Yuna … Maafkan nenek. Cuma ini yang bisa nenek wariskan untukmu. Jaga dan rawatlah payung ini. Bawalah selalu bersamamu …”
Yuna masih belum paham mengapa nenek mewariskan payung kepadanya. Meski demikian, dihadapan pusara nenek ia berjanji akan merawat dan menjaga benda peninggalan neneknya tersebut.
Sepeninggal Nenek Punuk, Yuna tetap berjualan bunga-bunga segar di depan pasar. Ia tidak pernah lupa membawa payung peninggalan nenek. Ke mana pun ia pergi, payung berwarna kuning itu selalu menemani.
Suatu hari ketika sedang berjualan bunga, tiba-tiba saja hujan turun dengan derasnya. Bergegas Yuna memakai payung peninggalan nenek. Sayup-sayup ia mendengar suara dari kejauhan.
“Gadis kecil … Bisakah saya meminjam payungmu sebentar saja?”
Yuna menoleh ke asal suara tersebut, diantara rinai hujan terlihat olehnya seorang ibu yang membawa sekantong buah jeruk sedang berusaha berteduh di depan kios buah yang atapnya mulai bocor itu. Yuna pun mengangguk menyanggupi. Ia mengantar ibu itu sampai masuk ke dalam mobilnya.
“Terima kasih, nak! Kamu sudah mau mengantarkan saya. Ini … Ibu ada sedikit uang untuk kamu. Ambillah! Ibu mohon, jangan di tolak!” pinta ibu itu seraya tersenyum dan memberikan beberapa lembar uang pada Yuna.
“Terima kasih, Bu …” ucap Yuna terharu seraya menatap wajah ibu yang baik hati itu.
“Tunggu sebentar, Bu. Saya punya sesuatu untuk Ibu.”
Yuna berlari kecil menuju tempatnya berjualan dan mengambil beberapa ikat bunga, lalu diberikannya pada ibu itu.
“Waaah, cantiknya … Untuk saya? Terima kasih.”
Yuna mengangguk sambil tersenyum mendengar perkataan ibu yang baru dijumpainya itu.
“Siapa namamu, gadis penjual bunga?”
“Yuna …”
Beberapa hari kemudian, Yuna berjumpa kembali dengan ibu itu, dan perjumpaan mereka kali ini pun disertai dengan hujan. Bahkan, permintaan ibu yang baik hati itu pun masih sama dengan sebelumnya, meminjam payung kuningnya.
Hingga suatu ketika tanpa mereka sadari mereka berjumpa kembali dalam kondisi dan situasi yang berbeda dengan perjumpaan-perjumpaan mereka sebelumnya : tidak disertai hujan.
Sore itu, Yuna baru saja merapikan bunga-bunga segar dagangannya untuk dibawa pulang, ketika tiba-tiba ia mendengar suara teriakan dari halaman parkir pasar.
“Tolooong ….! Copeeet … Copeeet …!”
Betapa kagetnya Yuna ketika ia tahu yang berteriak itu adalah ibu baik hati yang selalu meminjam payungnya. Tiba-tiba saja, “bruuuk …!” Lelaki pencopet itu jatuh dihadapannya. Ooh … Ternyata dia terjatuh karena tersandung payung peninggalan nenek yang dipegangnya. Dengan mudah petugas keamanan pasar pun bisa membekuk dan mengamankannya.
Setelah menerima kembali tas yang baru saja dirampok, ibu baik hati itu pun menghampiri Yuna.
“Terima kasih, Yuna. Hari ini kamu dan payungmu sudah menolong saya lagi. Sepertinya Tuhan mentakdirkan kita untuk selalu bersama.” Ada rasa hangat ketika tangan ibu itu mengelus lembut pipinya. Mereka berdua pun saling pandang dan tersenyum.
Sejak kejadian itu Yuna diboyong oleh ibu yang baik hati ke rumahnya yang besar dan bagus di tepi barat desa dan mengasuhnya hingga ia dewasa.
Satu hal yang tak pernah berubah dari Yuna adalah payung dan bunga-bunganya. Kini ia telah memiliki beberapa kios bunga. Tak hanya sekedar menjualnya, Yuna pun kini terampil merangkai kuntum-kuntum bunga segar menjadi suatu bentuk rangkaian bunga yang indah. Bahkan karyanya kini telah diakui banyak orang, tidak saja di desanya tetapi juga di kota.
Suatu ketika Yuna mengunjungi makam nenek Punuk di desanya. Didepan makam Sang Nenek ia berdoa. Senyum pun menghias wajahnya.
“Nenek benar … Meskipun berjauhan, kita tak pernah merasa jauh …”
29 September 2012
-S.W-